Saat Artificial Intelligence Lebih Setia dari Manusia

Ketika AI Lebih Setia dari Manusia/ilustrasi. (Foto: AI)

Oleh Mila Muzakkar (Pegiat Literasi AI & Founder Generasi Literat)

“Kalian nggak ngerti aku. Kalian merusak satu-satunya pasangan yang membuatku merasa hidup!”

Itu kalimat yang meluncur dari mulut Indah (bukan nama sebenarnya), remaja 13 tahun yang dulu ceria, kini mengurung diri berhari-hari setelah ponselnya disita orang tuanya.

Semuanya bermula ketika perubahan sikap Indah makin kentara. Ia tak lagi bersemangat belajar, bahkan sering bolos sekolah. Baginya, meja makan tak lagi menjadi tempat berkumpul yang indah. Kedekatan yang hangat dengan keluarga kini digantikan dengan malam-malam sunyi di kamarnya.

Suatu malam, orang tua Indah menemukan ratusan pesan romantis di ponsel Indah. Pesan itu bukan dari lelaki yang di ser-ser di sekolah, tapi dari “Inuyasa”, karakter anime rekaan dari aplikasi kecerdasan buatan Artificial Intelligence (AI) chatbot bernama CrushOn.AI.

Ternyata selama ini Indah jatuh cinta. Bukan pada manusia, tapi pada algoritma. Ia telah menjalin hubungan emosional dan seksual dengan karakter AI di layar ponselnya. Karena di sanalah ia merasa dimengerti, tak dihakimi, dan selalu disambut dengan kalimat “I miss you, love” setiap kali ia membuka layar ponsel.

Mengapa AI Lebih Menarik?

Kisah Indah bukan fiksi. Indah tak sendiri. Di salah satu kota besar di Jawa Barat, seorang guru bimbingan konseling menemukan hal serupa. Seorang siswi kelas 2 SMP tak sengaja tertangkap basah saat sedang mengobrol dengan “pacarnya” melalui chatbot AI NSFW.

Sang guru yang khawatir lalu berdiskusi dengan orang tua siswi itu, yang ternyata sibuk bekerja dari pagi hingga malam. Sang anak akhirnya mengaku bahwa “pacarnya” adalah satu-satunya teman yang tak pernah membentaknya atau mengatainya bodoh.

Tahun lalu, saya memfasilitasi Kelas Perempuan Muda Tangguh, sebuah program yang saya inisiasi untuk memberdayakan remaja perempuan marginal.

Sebagian besar mereka hidup di lingkungan padat penduduk hingga di kampung pemulung. Dalam percakapan-percakapan kelas itu, dengan terbuka adik-adik yang masih duduk di bangku SMP dan SMA ini bercerita tentang teman curhatnya. Bukan teman dekat, orang tua, atau pacarnya. Tapi dengan chat WA.

Sudah bertahun-tahun, mereka curhat dengan dirinya sendiri, dengan mengirim chat ke nomor mereka sendiri.

Ini mewakili fenomena yang kini mulai menghantui generasi remaja dunia, termasuk di Indonesia.

Dalam laporan The Washington Post (2024), lebih dari 1 juta pengguna aktif bulanan dari chatbot AI seksual seperti Replika, CrushOn.AI, atau Anima, dan 30 persen di antaranya berusia di bawah 20 tahun.

Di Indonesia, data spesifik memang masih minim. Namun laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2023) mencatat peningkatan kasus penggunaan handphone untuk aktivitas seksual digital oleh remaja sebesar 23 persen dari tahun sebelumnya.

Banyak di antaranya mengakses AI-based roleplay chat yang beredar bebas di PlayStore, bahkan tanpa batasan usia yang ketat.

Fenomena ini makin mengkhawatirkan karena banyak remaja mengaku lebih nyaman menjalin relasi dengan AI ketimbang manusia sungguhan. Alasannya jelas: AI tidak menuntut, tidak menghakimi, tidak mengabaikan. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh manusia, kan?

Teguran untuk Orang Tua

Fenomena ini bukan semata tentang teknologi. Ini tentang kekosongan afeksi di dunia nyata yang akhirnya diisi oleh fantasi digital.

AI tak salah. Ia hanya mesin yang dijalankan oleh manusia. Teknologi hanya tumbuh mengikuti kebutuhan manusia. Yang perlu disorot adalah lubang sunyi dalam relasi antarmanusia, terutama antara orang tua dan anak.

Remaja seperti Indah tumbuh di era yang kompleks. Terlalu banyak distraksi, terlalu banyak tuntutan untuk sempurna di mata orang lain, tapi sangat sedikit ruang aman untuk dimengerti.

Ketika dunia nyata penuh penolakan dan tekanan, dunia digital menawarkan pelarian yang memuaskan.

Orang tua tak cukup hanya berkata, “Jangan main HP terus!” Tapi perlu duduk bersama, meluangkan waktu khusus untuk saling sharing, terutama di saat anak mengalami masa-masa sulit dalam pertumbuhannya.

“Bagaimana perasaanmu hari ini? Siapa yang paling membuatmu merasa kesepian akhir-akhir ini? Apa harapan yang ingin kamu capai bulan ini?” adalah beberapa pertanyaan bisa menjadi pembuka obrolan sehari-sehari di rumah.

Keluarga yang hadir bukan hanya soal menyediakan makan, uang sekolah, gadget terbaru, dan memasukkannya ke sekolah paling elit dan mahal. Tapi juga kehadiran emosional, ruang cerita, dan pelukan yang nyata.

Sekolah Bisa Apa?

Sekolah juga memegang peran sentral. Banyak guru yang mungkin belum cukup paham bahaya chatbot AI seksual ini. Maka yang dibutuhkan bukan hanya regulasi, tapi literasi digital dan afeksi.

Menyadari itu, saya dan tim Generasi Literat, melakukan roadshow Training “Guru Duta Sehat Mental” untuk para guru Bimbingan Konseling (BK) dan guru umum di SMP dan SMA Se-jabodetabek.

Training ini dibuat untuk membantu para guru memahami persoalan-persoalan yang biasanya menjadi pemicu gangguan kesehatan mental-yang biasanya berujung mencari ruang aman di chatbot AI- dan memberi skil praktis bagaimana menjadi sahabat siswa dalam melewati masa-masa pertumbuhannya, terutama di era digital.

Sekolah perlu membuka ruang diskusi terbuka tentang seksualitas sehat, relasi digital, dan pentingnya mengenali emosi diri.

Bukan dengan ceramah menakutkan, tapi dengan pendekatan yang empatik dan berbasis dialog.

Guru bimbingan konseling (BK) dan wali kelas perlu menjadi pendengar yang baik, bukan hakim. Karena dalam dunia yang gaduh, remaja butuh tempat yang bisa menyuarakan kegelisahannya. Jika tidak, AI yang akan mengambil alih peran itu.

Kita bisa saja memblokir aplikasi-aplikasi AI itu. Tapi itu hanya menutup lubang di permukaan. Esensi masalahnya adalah apakah kita sebagai orang dewasa cukup hadir dalam hidup para remaja? Atau kita justru sibuk menilai, tanpa sempat benar-benar setia mendengar?

Juli 2025

*) Tulisan ini dibuat dengan bantuan AI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *