Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), bekerja sama dengan Wacana Universitas Indonesia serta Universitas Leiden menggelar kuliah umum bertajuk “Keanekaragaman dan Kelestarian Bahasa di Indonesia: Mengeksplorasi Variasi Regional dan Pelindungan Bahasa” di Aula Sasadu, Gedung M Tabrani Badan Bahasa, Jakarta, Jumat (25/7/2025). (Foto: BKHM Setjen Kemendikdasmen)
JAKARTA — Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), bekerja sama dengan Wacana Universitas Indonesia serta Universitas Leiden menggelar kuliah umum bertajuk “Keanekaragaman dan Kelestarian Bahasa di Indonesia: Mengeksplorasi Variasi Regional dan Pelindungan Bahasa”.
Acara yang diselenggarakan secara hibrida di Aula Sasadu, Gedung M Tabrani Badan Bahasa, Jumat (25/7/2025), dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube Badan Bahasa ini, berhasil menarik partisipasi lebih dari 700 peserta dari berbagai latar belakang, mulai dari akademisi, mahasiswa, pegiat budaya, hingga masyarakat luas. Melalui acara ini, Kemendikdasmen menekankan kolaborasi menjadi kunci dalam mencegah kepunahan bahasa daerah.
Kepala Badan Bahasa, Hafidz Muksin, dalam sambutannya menekankan pentingnya kolaborasi lintassektor antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh masyarakat, akademisi, dan lembaga pendidikan sebagai kunci utama dalam memperkuat upaya pelestarian bahasa dan sastra daerah di Indonesia.
“Kami sangat mengapresiasi kerja sama ini, kolaborasi sangat penting dalam upaya pelestarian bahasa daerah agar warisan leluhur kita tidak punah,” kata Hafidz di Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Pada kesempatan ini, Hafidz juga menyampaikan apresiasi yang tinggi atas antusiasme peserta serta kehadiran para narasumber, termasuk Nazarudin, akademisi sekaligus pegiat pelestarian bahasa dari Universitas Indonesia, dan Marian Klamer, profesor bahasa rumpun Papua dan Austronesia dari Universitas Leiden. Hal ini menandakan bahwa perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap upaya pelestarian bahasa daerah telah tumbuh.
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman bahasa daerah, tercatat sebanyak 718 bahasa daerah. Bahasa daerah tersebut tidak hanya menjadi alat komunikasi, melainkan juga cerminan kekayaan budaya dan identitas bangsa. Keanekaragaman bahasa ini diibaratkan sebagai ‘taman kota’ yang penuh aneka warna, di mana setiap warna melambangkan karakter unik dari masyarakat di berbagai penjuru nusantara.
Dalam kuliah umum ini, Hafidz juga menekankan peran generasi muda sebagai pilar pelestarian bahasa daerah, yang idealnya berperan aktif melalui berbagai kegiatan budaya, lomba berbahasa daerah, serta pemanfaatan media digital dalam mengembangkan bahasa lokal melalui berbagai wadah ekspresi kekinian.
“Keberagaman bahasa di Indonesia seperti taman kota yang penuh aneka warna, masing-masing warna melambangkan karakter masyarakat dari berbagai penjuru nusantara. Generasi muda adalah kunci utama pelestari bahasa daerah, mereka perlu ditanamkan agar memiliki kecintaan terhadap bahasa ibu melalui aktivitas sehari-hari, ruang kreativitas dan apresiasi, program budaya, dan media digital,” jelas Hafidz.
Peran Strategis Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pemersatu Bangsa
Pada sesi diskusi menyoroti peran strategis Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa sejak Sumpah Pemuda 1928, serta gerakan “Bangga Berbahasa Indonesia, Mahir Berbahasa Indonesia, dan Maju Bersama Bahasa Indonesia”. Dominasi bahasa nasional ini juga membawa tantangan bagi keberlangsungan bahasa daerah yang mulai tergeser penggunaannya, terutama di ranah formal dan pendidikan.
Salah satu isu penting yang diangkat adalah keterbatasan pembelajaran bahasa daerah di sekolah yang masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan bahasa asing, serta kurangnya sumber daya pengajar yang kompeten di daerah terpencil. Namun, inovasi dan upaya pelestarian terus dilakukan, seperti pengembangan platform digital, permainan edukatif berbasis budaya lokal, dan sistem penerjemah otomatis yang tengah dikembangkan oleh komunitas pemuda di beberapa daerah.
Marian Klamer memaparkan betapa kompleks dan kaya ekologi linguistik Indonesia yang meliputi tidak hanya bahasa daerah dan bahasa Indonesia, melainkan juga lingua franca lokal dan ragam Melayu yang telah berkembang selama berabad-abad. Ia mencontohkan fenomena di Pulau Pantar yang kecil namun memiliki 11 bahasa lokal, menandakan keberagaman yang sangat tinggi meskipun dalam wilayah terbatas.
Selanjutnya, Nazarudin membagikan studi kasus tentang bahasa Oirata di Pulau Kisar, Maluku, yang menghadapi tantangan penurunan jumlah penutur, namun terus dilestarikan melalui inisiatif lokal dan dokumentasi intensif. Kajian dan penelitian yang telah dilakukan bertahun-tahun tersebut, telah memantik semangat dan kreativitas tokoh masyarakat setempat untuk menciptakan kamus bahasa daerah yang ada di wilayahnya agar menjadi dokumentasi penting dan media pembelajaran bagi generasi selanjutnya.
Pada sesi tanya jawab, peserta mengajukan pertanyaan terkait dinamika bahasa di Indonesia, termasuk hubungan bahasa lokal Papua dengan bahasa Australia. Diskusi tentang strategi penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa ibu dalam keluarga multibahasa, serta pengembangan konten digital budaya yang semakin kreatif juga turut diperbincangkannya bersama nara sumber.
Kuliah umum ini dipandu oleh Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Dora Amalia. Di akhir sesi Dora berharap, semangat kolaborasi, inovasi, dan cinta terhadap bahasa ibu maupun bahasa nasional dapat terus dijaga oleh seluruh pemangku kepentingan. “Dengan begitu, bahasa daerah dan bahasa Indonesia tidak hanya terlestarikan tetapi juga berkembang maju sebagai warisan tak ternilai bagi bangsa,” pungkasnya.
(***)